Minggu, 17 Juni 2012

KESEIMBANGAN KEBIJAKAN ERA SRI BADUGA MAHARAJA

Awal bulan ini, Kota Bogor merayakan hari jadinya yang ke 530 ditandai dengan berbagai rangkaian kegiatan dengan acara puncak kirab karnaval budaya Sunda Seba Kuwerabakti . Seba Kuwerabakti ini sendiri dikenal sebagai acara tahunan kunjungan raja-raja daerah kepada raja Pajajaran sebagai bukti loyalitas mereka pada raja. Upacara inilah yang kemudian menjadi titik dasar penentuan hari jadi kota Bogor.

Terlepas dari berbagai macam argumen tentang dasar penentuan hari jadi kota Bogor dan korelasinya dengan aktif kembalinya Pakuan sebagai ibukota kerajaan pada era Sri Baduga, tulisan singkat berikut mungkin dapat memberikan gambaran betapa kebijakan dari Jaya Dewata (Moh. Amir Sutaarga dan Saleh Danasasmita mengidentikannya dengan Prabu Siliwangi dalam karya sastra dan tradisi lisan Sunda ) untuk memakmurkan kerajaanya, sehingga di kemudian hari tokoh ini sangat diagungkan masyarakat Jawa Barat.


Sri Baduga Maharaja menjadi pewaris tahta Kerajaan dari dua kerajaan yang menjadi sentra  kerajaan di Jawa Barat saat itu , Sunda dan Galuh. Pewarisan yang bermula dari pandangan Prabu Susuktunggal (Raja Sunda) pada apa yang terjadi pada kerabatnya di Galuh, Prabu Dewa Niskala. Prabu Dewa Niskala dianggap telah melanggar larangan dengan menikahi  seorang rara hulanjar dan ngarumpak tabu untuk berjodoh dengan keturunan Kerajaan Majapahit akibat dari peristiwa Perang Bubat.

Perseteruan dari kedua Putra Prabu Wastu Kancana akhirnya ditengahi oleh para pemuka kerajaan, dengan “memaksa” keduanya untuk lengser dan menunjuk Jaya Dewata -- nama lain --dari Sri Baduga sebagai suksesornya. Jalan tengah yang dianggap  bijak, mengingat Sri Baduga merupakan Putra dari Prabu Dewa Niskala sekaligus  menantu dari Prabu Susuktunggal.  Untuk kesekian kalinya Sunda dan Galuh berada dalam satu pucuk pimpinan. Selain itu, status Sri Baduga sebagai putera mahkota Galuh dan Prabu Anom di Pakuan sebelumnya, semakin melegitimasi pengangkatan dirinya menjadi raja.

Sri Baduga terlebih dahulu naik tahta Galuh dengan gelar Prabu Guru Dewataprana, setelah itu bergerak ke Pakuan untuk menerima tahta Kerajaan Sunda  dari Prabu Susuktunggal. Peristiwa ini kemudian digambarkan  oleh Kai Raga pada carita Ratu Pakuan (kropak 410)  yang menggambarkan iring-iring Ngambet Kasih dari Timur menuju Barat. Sekaligus menandai berfungsinya  kembali Pakuan sebagai ibu kota Kerajaan, setelah pusat kerajaan pada masa sebelumnya bergeser ke Timur.

Kebijakan-Kebijakan Sri Baduga

Sebagai seorang tokoh yang lahir dan dibesarkan di Keraton Surawisesa Kawali, Sri Baduga muda tentunya mewarisi nilai-nilai mulia dari Sang Maha Prabu Niskala Wastu Kancana. Sehingga di kemudian hari, saat ia menyandang gelar raja, kebijakannya pun lebih mencerminkan didikan dari sang kakek.
Sang Prabu meneruskan amanat untuk tetap memelihara dan melindungi kabuyutan.
Kebijakan  yang berkait dengan kabuyutan dapat ditemukan pada prasasti Kabantenan I-V.  Terjemah dari prasasti III Kabantenan kurang lebih menjelaskan keberpihakan sang raja pada para pemuka agama.

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan dasa, calagra, kapas timbang, dan pare dongdang. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran agama. Mereka yang teguh mengamalkan hukum-hukum dewa.

Kabuyutan seperti diketahui dalam rentang sejarah kerajaan Sunda merupakan tempat atau wilayah yang paling sakral ataupun suci. Kesakralannya bahkan digambarkan sedemikian rupa oleh Prabu Darmasiksa dalam Amanat Galunggung, bahwa bila seorang raja gagal melindungi Kabuyutan, maka ia lebih hina derajatnya dari kulit lasun di tempat sampah. Dengan demikian bisa dikatakan,  bahwa  Kabuyutan dalam tatanan baheula merupakan lambang hubungan antara manusia, leluhur dan Sang Pencipta. Dangiangnya kerajaan bila meminjam istilah yang digunakan penyusun RPMSSJB.

Lalu bagaimana dengan kebijakan lahir atau fisik. Kebijakan dari sisi ini dapat kita ketahui dari prasasti Batu Tulis, Bogor. Prasasti Batu Tulis memuat isi bahwa Sri Baduga berbenah secara fisik untuk memperkuat Pakuan di  sisi strategi militer dengan “nyusuk”(membuat parit pertahanan) di Pakuan.
Pekerjaan nyusuk na pakwan serupa dengan apa yang dilakukan Maha Prabu Wastu Kancana (marigi sakuriling dayeuh) di Kawali serta Batari Hyang di Galunggung. Pada masa akhir Pajajaran, kebijakan ini terbukti mampu menahan gempuran musuh.
Berikutnya adalah sakakala gugunungan sebagai tanda peringatan berupa gunung-gunungan.  Masih menurut Prasasti Batu Tulis, sang Mahara Raja juga melakukan Ngabalay atau mengeraskan jalan sebagai kebijakan infrastruktur untuk memajukan perekonomian. Menurut Rintisan Penelusuran Masa Silam, Jalan berbalay (berbatu) pernah ditemukan sisa-sisanya oleh regu ekspedisi Scipio tahun 1967.

Garis besar kebijakannya dimuat dalam Pustaka Kertabumi I/2:

Sang Maha Raja membuat karya besar yaitu : membuat telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ibukota Pakuan dan ke Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibukota, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kabinihajian(Kaputren), kesatrian (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamigntonan (tempat pertunjukkan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemumgutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan. (RPMS SJB, 1984 :9).


Tome Pires seorang bangsa Portugis yang singgah di pelabuhan - pelabuhan Sunda di Pantai Utara pada kisaran tahun 1513 terkagum dengan keadaan yang terjadi saat itu. Kekagumannya digambarkan dalam dengan meyebut “Kerajaan Sunda diperintah dengan Adil”.
Sebagian sumber bahkan menyebut populasi penduduk Pakuan mencapai 50.000 jiwa dan mampu mengerahkan 100.000 tentara dari seluruh kerajaan. Pada masa itu, tingkat kemakmuran suatu kerajaan dirujuk pada jumlah atau tingkat populasinya.

Purbatisti Purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa. Artinya kurang lebih konsistensi memegang teguh ajaran leluhur sehingga tidak akan kedatangan musuh dan hidup sejahtera, demikian penulis Carita Parahyangan mengilustrasikan keadaan Pakuan pada rentang waktu tersebut. Sri Baduga sendiri memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Singkat kata bahwa ringkasan di atas menggambarkan usaha Sri Baduga untuk menyeimbangkan kebijakan-kebijakannya agar menyentuh semua sektor dari tatanan kehidupan saat itu, untuk memajukan dan memakmurkan rakyatnya.

Gambaran ketokohan ini pula yang kemudian membuatnya dicintai dan dihormati masyarakat Jawa Barat dengan berbagai bentuk ekspresinya. Satu wujud yang dianggap sahih, karena setelah era tersebut Pajajaran mengalami kemunduran sampai hilang ditelan jaman. Sebuah bentuk penghormatan bagi leluhur yang telah mengakar seolah abadi dan tetap dekat. Dan bila anda sepaham dengan Historia est Magistra Vitae bahwa kita dapat berguru dari sejarah, sudah selayaknya penghormatan tersebut dapat diterjemahkan untuk kemudian diartikulasikan dalam tatanan hidup keseharian.

Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa.
MUGIYA….


Sumber bacaan


Masyarakat Sunda dan Kebudayaanya, Edi S Ekadjati, Girimukti Pasaka1984

Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat jilid ketiga - keempat

3 komentar:

  1. Fakta sejarah ini sudah selayaknya terus dikembangkan dan dikenalkan pada generasi muda kita Ki. Fasalnya Seni dan Budaya kita diklaim negara deungeun kita seolah kebakaran jenggot. Namun ironisnya bila kita tanya bisakah kita menyanyikan lagu anu, atau bisakah kita menarikan tari anu,jawabanya tidak.
    Maka untuk post ini saya kasih G+ Kang,nuhun toh berbagi,happy blogging.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sami-Sami Kang, Hayu ah urang sasarengan. Ari dirempug mah maenya teu hasil. Nilai yang positif tentunya.

      Hapus
  2. Letak Telaga MAHA~ARENA (Maharena) masih menjadi sebuah misteri.
    Kalau kita lihat arti kata MAHARENA yaitu Maha Arena atau Maha Areal atau Maha Luas.
    Telaga MAHARENA artinya yaitu TELAGA YANG MAHA LUAS.
    Berarti tidak ada telaga atau danau di Jawa Barat yang luasnya melebihi danau MAHA~ARENA.
    Mungkinkah yang dimaksud adalah DANAU BANDUNG YANG MAHA LUAS?
    Mungkinkah yang dimaksud LAWANG SAKETENG (Lorong Sempit) adalah SANGHYANG TIKORO?

    Aku tidak tahu & takut nyanyahoanan.
    Aku tanyakan kepada Mandalajati Niskala, hanya dijawab dengan tersenyum.
    COBA SAJA TANYAKAN KE DR BRAHMANTYO (ITB) PENELITI DANAU BANDUNG.

    BalasHapus