Senin, 31 Oktober 2011

SITUS BERSEJARAH: Nasibmu Kini

Salah satu ketertarikan mengunjungi lokasi ini adalah saat membaca berita Kabuyutan Pasir Reungit Selareuma Kabupaten Sumedang yang bersumber dari harian Pikiran Rakyat dan dimuat pada banyak blog diantaranya di http://bataviase.co.id/detailberita-10478915.html dan http://groups.yahoo.com/group/kisunda/message/41677. Situs-situs yang mengelilingi Seularema, bila dirunut adalah situs para Raja dan leluhur Sumedang, kecuali Sunan Patuakan (beberapa juga menyebut dengan nama Sunan Tuakan) menurut Rintisan Penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat merupakan Raja kelima dari Kerajaan Sumedang, menggantikan Sunan Guling.
Untuk alasan itulah, penulis mengunjungi lokasi salah satu leluhur Sumedang tersebut. Nama lokasi yang dikenal dengan Heubeul Isuk ini terletak di Desa Cinanggerang Kecamatan Sumedang Selatan (titik koordinat S 06o 53’48.9” dan E 107o 52’.02.0”).

Ada tiga akses yang dapat dipergunakan untuk mencapai lokasi tersebut. Namun disarankan bagi yang hendak berkunjung untuk mengambil jalur dari daerah Singkup, rute ini relatif lebih nyaman untuk kendaraan roda dua.
Tidak sukar memang untuk menemukannya, di tengah perkebunan buah leci tampak pohon karet besar dan berumur menjadi ciri bahwa lokasi ada di sekitar daerah tersebut.
Namun setibanya di lokasi, ada hal yang cukup menggangu secara pribadi, melihat lokasi tersebut ternyata telah “diubah” baik bentuk dan materialnya. Situs berubah secara fisik menjadi bentuk “kuburan” lazimnya bentuk kuburan saat ini.
Di tengah kurangnya sumber dan informasi yang menyatakan bahwa Sunan Patuakan dimakamkan di tempat tersebut, mari kita berasumsi bahwa memang tempat tersebut adalah makam. Tetapi, sahihkah bila kemudian tempat tersebut diubah bentuknya sedemikian rupa. Bentuk ini seakan menjustifikasi kebanyakan peziarah yang datang dengan berbagai macam persoalan pribadi mereka (baca:meminta). Lalu bagaimana dengan hak anak cucu yang hendak napak tilas keberadaan leluhur mereka. Atau lebih jauh lagi bagaimana dengan UU No 5 tahun 1992 yang kemudian diganti dengan UU RI No 11 tahun 2010 tentang cagar budaya.
Miris rasanya, di tengah ancaman Kabupaten Sumedang akan kehilangan puluhan situs akibat genangan proyek Waduk Jati gede, situs lain yang “aman” justru berubah fungsi hanya untuk mengakomodasi kepentingan tertentu.
Tidak lebih bijakkah bila kita mememelihara saja keaslian lokasi bersejarah yang sekarang sudah semakin terpinggirkan oleh hiruk pikuk kehidupan sekuler.
Atau mungkin kita hanya berdiam diri dan berseloroh biarkan saja toh dengan demikian keberadaan situs akan tetap terjaga karena semakin “nyaman” untuk dikunjungi peziarah atau pada akhirnya hilang tertelan jaman hanya karena kepentingan ekonomis semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar